Kampung Naga Tasikmalaya
|
|
Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal
kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan
raya yang menghubungkan Tasikmalaya - Bandung melalui Garut, yaitu kurang
lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya.
| |
Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat
dalam memegang adat istiadat peninggalan Ieluhumya. Hal ini akan terlihat
jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung
Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan
dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memlihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besr Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana. Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga. Obyek wisata ini merupakan salah satu obyek wisata budaya di Tasikmlaya Wisatawan biasanya memiliki minat khusus yaitu ingin mengetahui dan membuktikan secara nyata keadaan tesebut. Pengembangan obyek wisata Kampung Naga termasuk dalam jangkuan pengembangan jangka pendek. |
|
Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada
masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang
abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke
sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut,
Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana.
Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu
tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
|
|
Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi
masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau
Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung,
dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat
Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan
upacara adat bagi semua keturunannya.
Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian. |
Minggu, 22 Januari 2012
tentang kampung naga
Minggu, 08 Januari 2012
Peran Adzan
Peran adzan akhir-akhir ini tidak menjadi sebagai pemanggil seseorang untuk melaksanakan shalat. ketika adzan berkumandang orang-orang kini sudah banyak yang tidak mau pergi ke tempat ibadah baik mushola maupun mesjid untuk melaksanakan shalat fardu secara berjamaah. padahal konon dulu ketika adzan berkumandang, hampir seluruh penduduk kampung di suatu desa yang dekat dengan tempat ibadah mereka berbondong-bondong untuk pergi ke mesjid atau ke mushola.
sekarang peran adzan sudah mulai berbalik 180 derajat, peran adzan kini hanya sebagai penanda waktu bagi yang mendengarkannya. banyak ketika adzan berkumandang ibu-ibu menyuruh anaknya untuk mandi, atau melakukan kegiatan yang lainnya seperti makan, mereka tidak menyuruhnya untuk segera mendirikan shalat berjamaah.
ini tidak lain karena adzan perannya sudah menjadi lonceng pengingat waktu. dimana ketika adzan itu adalah waktunya makan, mandi, istirahat, dan sebagainya yang bukan penggerak untuk mendirikan shalat berjamaah.
sekarang peran adzan sudah mulai berbalik 180 derajat, peran adzan kini hanya sebagai penanda waktu bagi yang mendengarkannya. banyak ketika adzan berkumandang ibu-ibu menyuruh anaknya untuk mandi, atau melakukan kegiatan yang lainnya seperti makan, mereka tidak menyuruhnya untuk segera mendirikan shalat berjamaah.
ini tidak lain karena adzan perannya sudah menjadi lonceng pengingat waktu. dimana ketika adzan itu adalah waktunya makan, mandi, istirahat, dan sebagainya yang bukan penggerak untuk mendirikan shalat berjamaah.
Langganan:
Postingan (Atom)